BIM Berbagi

BIM Berbagi
Tampilkan postingan dengan label CERBUNG. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label CERBUNG. Tampilkan semua postingan

Selasa, 08 Desember 2020

CERBUNG : KEMBALINYA NYAWA ISTRIKU


KEMBALINYA NYAWA ISTRIKU
Oleh Kang Mul Jozz

Peristiwa ini terjadi di akhir tahun 2004 kurang lebih 16 tahun yang lalu, tepatnya 2 bulan sebelum terjadinya Tsunami di Aceh. Peristiwa yang hampir saja merenggut nyawa istriku karena kecelakaan lalu lintas di depan Pasar Mede Cilandak Jakarta selatan, kejadian ini sangat memilukan jika harus di ceritakan kembali.

Berawal dari kunjungan silaturahmi ke tempat kakak-kakak kami di Jakarta dalam suasana Idul Fiti, hal ini menjadi tradisi dalam keluarga kami dan keluarga Muslim lainnya, sebagai wujud penghormatan kami karena sebagai adik bungsu yang harus datang ke saudara-saudara yang lebih tua. 

Salah satu kakak kami yang di Pondok labu sudah kami kunjungi dan sempat menginap semalem di rumah kontrakannya. Saatnya kami silaturahmi ke tempat kakak kami yang tinggal di Cilandak Tengah yang jarak tempuhnya sekitar 20 menit perjalanan menggunakan sepeda motor. 

Ba’da maghrib aku, istriku dan anakku yang baru berumur kurang lebih 1 tahun 7 bulan sudah bersiap menuju ke Cilandak tengah, saat itu suasana hatiku seperti ada sesuatu yang mengganjal, langit sudah gelap karena malam hari sudah tiba, tetapi perasaan saya selain gelap, langit itu mendung dan segera akan turun hujan. Padahal jika memandang ke atas taka da mendung di atas sana.

Sepeda motor ku pacu dengan kecepatan sedang-sedang saja, karena aku tak terbiasa ngebut saat berkendara di jalan raya, apalagi Jakarta, kota yang penuh sesak dengan manusia yang datang dari seluruh Indonesia, jalan raya sudah seperti arena balapan untuk mengejar waktu dan menghindari macet pada jam-jam tertentu. Dalam perjalanan menuju rumah kakakku di Cilandak tengah, aku sempatkan ngobrol sama istri di atas Sepeda motor dalam perjalanan.

"Bun, kita beli makanan yuk buat oleh-oleh” kataku sambil membuka kaca helm yang kupakai, karena saat kaca tertutup terkadang suara ku nggak terdengar oleh istri.

“Yuk, mau beli apa enaknya yah ?” jawabnya sambil bertanya balik.

"Beli buah aja ya, kalau kue kan lebaran gini pasti sudah banyak kue di rumah Bude” timpalku sedikit mengarahkan beli buah-buahan aja.

“Ya sudah cari toko buah aja kalau gitu”istriku mengiyakan usulanku untuk beli buah saja. Sebenarnya rumah kakak yang di Cilandak tengah ini sudah tinggal satu belokan sampai, nsmun karena keinginan membawakan oleh-oleh akhirnya kami harus melewati belokan itu dan meutar jauh untuk mencari took buah.

Cukup lama kami berputar-putar untuk menemukan took buah, karena sudah cukup jauh berjalan nggak mendapatkan toko buah tersebut akhirnya saya menepi ke tukang martabak  pinggir jalan dan sedikit dengan nada putus asa aku bilang ke istri :

“Sudahlah bun, ini saja lah bawain martabak” sungut saya sambil menunjuk tukang martabak di sebelah kiri kami. Dari belakang istriku bilang sambil menunjuk tukang buah di sebrang jalan.

“Itu ada buah yah di sebrang jalan itu” istriku sedikit berteriak sambil menunjuk tukang buah yang berada di sebrang jalan. Aku sedikit kesal karena sudah berhenti di depan tukang martabak malah di kasih tau ada tukang buah di sebrang jalan.

“Muternya jauh itu kalau harus kesitu” sahut saya dan dalam hatipun tidak setuju kalau harus memutar arah lagi. 

“Nyebrang saja lah kalau gitu” istriku sedikit ketus menyela penjelasanku.

“Ya sudah nyebrang aja kalau gitu, ayah sama dede nunggu di sini aja” jawabku setengah tak setuju dengan ide menyebrang jalan hanya untuk membeli buah. 

Bukan tanpa alasan ketidak setujuanku ini, karena aku tau istriku termasuk orang rumahan, jarang sekali keluar rumah kalau tidak ada hal penting yang harus di kerjakan. Apalagi ini jalanan kota Jakarta yang cukup padat dan membahayakan kalau tidak pandai menyebrang jalan.

Dari kejauhan kulihat istriku sudah sampai di tukang buah, dan terlihat seperti tawar menawar harga. Akhirnya buahpun terbeli dengan plastic kresek warna putih bening. Perasaanku belum lega, sebelum istriku sampai di sebrang tempat aku dan anakku menunggunya di atas sepeda motor. 

Kulihat istriku sudah mulai bersiap menyebrang kembali dengan menenteng buah di tangannya. Sebrangan pertama sudah aman dan sudah sampai di pembatas jalan, ku lihat tangannya melambai-lambai ke sebelah kirinya untuk minta di berikan jalan ke pengendara sepeda motor dan mobil. 

Aku bersiap hendak menyalakan sepeda motor Honda Grand tahun 94 kesayangan kami satu satunya, tiba-tiba terdengar suara “Braaakkkkkkk, di depanku terlihat seorang wanita berjilbab dan masih memakai helm terlempar sejauh kurang lebih 5 meter dan membentur trotoar jalan. 

“Astaghfirullah Bunda” spontan saya turun dari sepeda motor dan meninggalkan anakku yang belum tau apa yang sedang terjadi dengan bundanya, aku berlari menghampiri istriku yang tergeletak pingsan di pinggir jalan. Saya lihat tidak keluar darah dari kepala atau badannya.

“Astaghfirullah, koq bisa si Mas tadi gimana ?” kataku ke pengendara sepeda motor yang menabrak isrtiku.

"Tadi istrinya nyebrangnya ragu-ragu pak, kita bawa ke rumah sakit aja pak” jawabnya gugup dan ketakutan. Karena orang-orang di sekitar mulai berdatangan mengerumuni istri saya yang masih pingsan tak berdaya di pinggir jalan.
Dari kerumunan orang itu, ada yang berteriak 

“Bawa ke rumah sakit aja, itu deket koq depan situ paling 1 kilo, rumah sakit Fatmawati” katanya sambil menunjukkan arah rumah sakit. Aku baru teringat anakku sendirian di atas sepeda motor, segera aku menghampiri anakku untuk menggendongnya. 

“Putri” begitu anakku biasa di panggil, dia masih belum sadar apa yang sedang terjadi. Sambil ku gendong aku hampiri istriku yang masih pingsan, tapi betapa kagetnya setelah aku balik badan, istriku sudah tidak ada di tempat dia terjatuh. Aku panik, bingung dan serba salah, orang-orang disekelilingku hanya diam saja tanpa reaksi apa-apa.

“Kemana istriku tadi pak ?” setengah berteriak aku bertanya kepada orang-orang yang tadi berkerumun.

“Dibawa sama yang nabrak tadi mas, paling di bawa ke rumah sakit” katanya sedikit menenangkanku yang benar-benar kalut saat itu. 

Pikiranku sudah tidak karuan, jadi berpikir negatif ke orang yang nabrak tadi, “jangan-jangan istriku di buang di pinggir jalan sama orang itu karena nggak mau tanggung jawab” . kalut, bingung, khawatir campur aduk jadi satu.

Bersambung .........,

#Day08desAISEIWritingChallenge

Jumat, 20 November 2020

LALAI KARENA BISNIS

Foto hanya ilustrasi

Mulyadi Sastrawan atau saat kecilnya sering di sebut Simul oleh orang-orang sekampungnya, berubah nama panggilannya saat berada di Tangerang. 

Simul dewasa yang sudah bekerja di salah satu perusahaan spare part otomotif di kawasan manis juga aktif menyalurkan hobinya di sepak bola tingkat perusahaan. Dan biasanya, di permainan bola, ada nama-nama panggilan beken layaknya pemain dunia ......(mimpi di siang hari karena tidurnya nggak berdo'a .....hehehe).

Begitupun dengan Simul, ia sering dipanggil keponakannya dengan panggilan Mamung (mau nyebut Masmul masih cedal, jadinya Mamung), akhirnya nama itu yang ia pakai untuk nama bekennya di dunia sepak bola ala perusahaan.

Mamoeng, nomor punggung 18 karena Simul ....eh Mamoeng ngefans berat sama pemain Jerman Jorgen Klinsmann nomor punggung 18 kala itu.

Sejak saat itu nama Mamoeng mulai di kenal di kalangan pecinta sepak bola tingkat perusahaan.....(lumayan lah buat obat kebisingan dan apeknya bau karet pabrik), tak jarang Mamoeng sering di bon (istilah dalam bola tarkam atau antar kampung, di bon berarti di bayar untuk ikut gabung di team lain), lumayan bisa buat beli sabun buat nyuci kaos sama sepatu .....hehehe.

Selain di kenal sebagai pesepak bola antar perusahaan, Mamoeng julukan baru Simul juga di kenal sebagai seorang yang aktif memperjuangkan hak-hak karyawan dengan memperjuangkannya tanpa pamrih. Ia aktif di organisasi serikat pekerja selama hampir 5 tahun dan jabatan terakhirnya sebagai Ketua PUK (Pimpinan Unit Kerja) Perusahaan.

Lama berkecimpung di dunia pembelaan pekerja/karyawan, Mamoeng merasa ada yang kurang pas dengan perjuangannya tersebut, karena selain menyita cukup banyak waktu, tenaga dan pikiran, terkadang berpikir sehebat apapun perjuangan di serikat pekerja, Upah sudah di tetapkan maksimalnya, artinya ada batasan yang tak bisa di tembus oleh perjuangan negosiasi.

Akhirnya atas saran dan masukan dari seorang teman, Mamoeng mulai terjun ke dunia bisnis dengan tetap bekerja dan aktif di serikat pekerja. Sejak itulah sikap Mamoeng mulai berubah, yang tadinya meledak-ledak emaosinya saat  perundingan dengan pihak perusahaan, kali ini mulai turun tensinya.

Hal ini pengaruh dari beberapa hasil training dan membaca buku yang di sarankan oleh leadernya di bisnis barunya, bisnis Multi Level Marketing atau Network Marketing, bisnis barunya dan juga bisnis perdananya.

Bagaimana tidak berubah sikap kalau buku yang di baca seperti :
1. Berpikir dan berjiwa besar.
2. Mencari Kawan dan mempengaruhi orang lain.
3. Personality Plus.
4. Mengembangkan Kepemimpinan dalam diri Anda.
5. Jangan Mau seumur hidup jadi orang gajian.
6. Berani Gagal.

Dan buku-buku lainnya yang di rekomendasikan oleh Suport system' bisnis tersebut. Mainset berubah, cara berpikir berubah, cara bersikap dan bertindak berubah. Yang ada di benaknya hanya Sukses dan kaya.

Sejak itulah, Mamoeng sibuk dengan bisnis barunya, ia lupa dengan pengajiannya, ia lupa bersosialisasi dengan tetangga, yang ia lakukan setiap hari keluar rumah untuk Presentasi, meeting, training dan seminar demi kesuksesan dirinya,

Meski Sholat 5 waktu tak pernah ia tinggalkan, namun aktifitas dengan tetangga nyaris tak pernah ada, ngaji, kerja bakti dan lain-lain hampir tak pernah ia ikuti, ia larut dalam euforia momentum bisnis barunya itu.

Ia benar-benar lalai karena bisnis itu !

Bersambung .........

#Day17novAISEIWritingChallenge


Senin, 16 November 2020

BERBAURNYA ANTARA PERANTAU & PENDUDUK ASLI

Foto hanya ilustrasi

"Wa'alaikum salam, silahkan masuk mas !" Terdengar suara jawaban salam dari dalam, sang Ustadz mempersilahkan masuk Simul dan teman barunya itu.

"Silahkan duduk, dengan mas siapa ya ?"  sang Ustadz menanyakan nama sambil menyodorkan tangannya mengajak salaman.

"Mulyadi Sastrawan  pak, panggil aja Mas Mul" Simul menjabat tangan sang Ustadz sebagai tanda perkenalan.

”Okey mas Mul, kita ngobrol-ngobrol dulu aja ya, aktifitas mas Mul apa saja sekarang" tanya sang Ustadz.

"Saya kerja shift pak, kalau shift 1 kerja mulai jam 6 pagi pulang jam 2 siang, shift 2 jam 2 siang sampe 10 malam, shift 3 kerja jam 10 malam pulang jam 6 pagi" Simul memberikan penjelasan waktu kerjanya.

" Terus aktifitas selain itu apa mas ? Sepulang kerja ngapain aja" sang Ustadz mengajukan pertanyaan berikutnya.

"Ya paling buat menyalurkan hobby saya main bola pak, seminggu 2 kali” jawab Simul singkat.

"Hidup kalau cuma buat kerja, makan, terus nyalurin hobby kayaknya datar banget ya mas, monoton" sang Ustadz mengajak berpikir ke hal yang lebih luas lagi.

"Iya sich Pak, habis mau gimana lagi, pulang kerja sudah capek, malamnya paling melepas kepenatan gitaran sama temen-temen" Simul mencoba menjelaskan.

" Mau ngaji, bingung saya mau ngaji dimana, ikut ngaji di masjid, ustadznya pake bahasa Sunda, te nyahok urang" .....lanjutnya sambil menyisipkan Bahasa Sunda medok Jawa .....hehehe. hanya itu yang ia bisa.

Suasana ruangan kontrakan petak yang berisi beberapa orang itu seolah hanya di isi 2 orang saja, sang Ustad dan Simul yang di tanya terus sama Pak Ustadznya, sementara yang lain hanya terdiam seribu basa mendengarkan obrolan itu.

"Baiklah kita mulai saja ya kajian kita malam ini, kita pindah ke ruang dalam yang ada whiteboardnya" ajak Ustadz ke semuanya. Merekapun pindah semua ke ruang dalam.

Kajian di mulai

"Dari obrolan kita awal tadi, ternyata sebagian besar kita hanya selalu berpikir dan bertindak untuk urusan dunia, sementara Akherat tempat kembali kita hanya di lakukan sepintas saja, sisa-sisa tenaga kita, betul nggak kira-kira ?" Tanya ustadz mencoba ngetest  konsentrasi kita.

"Betuuuulll" jawab semua yang hadir malam itu.

Singkat cerita, sang Ustadz menyampaikan panjang lebar tentang Islam dimulai dari bab Keimanan, cinta Allah, cinta Rasul dan seterusnya. Pengajian rutin di adakan seminggu sekali.

Sampai akhirnya karena banyaknya peminat pengajian itu, dan atas ijin pengurus DKM (Dewan Kemakmuran Masjid) setempat, kajian pindah tempat ke Masjid. Pengurus masjid begitu antusias menyambut baik kajian tentang Aqidah dan akhlak tersebut.

Sejak saat itu penduduk pribumi dan pendatang mulai berbaur tanpa membedakan antar penduduk pribumi dan perantau, semua salin bahu membahu dan tolong menolong satu sama lain.



#Day14novAISEIWritingChallenge










Minggu, 15 November 2020

KETEMU YANG DICARI


Berbekal ilmu Iqro dari kampung dan nasehat dari Bapak yang selalu mewanti wanti (Berpesan) untuk selalu menjaga diri, menjaga kehormatan diri juga keluarga dan selalu berhati-hati setiap ada ajakan atau tawaran sesuatu dari orang lain yang belum di kenal, Si Mul melangkah sendiri menapaki kehidupan ini.

Saat pencarian jati diri itulah Si Mul menemukan beberapa hal yang cukup menguras energi pemikiran dan keyakinan, salah satu kejadiannya seperti yang akan di ceritakan berikut ini :

"Aku pengen ngaji di sini dimana ya mas Slamet ?" Tanya Simul kepada teman kontrakannya yang sudah duluan menetap di Tangerang.

"Ooo ada Mul, temen kerjaku kemarin ngajakin aku ngaji di deket kontrakannya sana" jawab Mas Slamet bersemangat, 
"Cuma saya belum siap ikut ngaji" tambahnya

"Ngajinya gimana ya mas ?" Simul penasaran menanyakan seperti apa pengajiannya.

"Ya ngaji Al-Qur'an, terjemahan gitu"  mas Slamet menjawab sambil menyalakan korek api di tangannya, mas Slamet ini perokok aktif dan agak jauh dari agama, shalat masih jarang-jarang, dan kadang juga iseng minum bir beralkohol.

"Ustadnya darimana mas"  Simul makin penasaran tanda kalau dia ingin sekali menghadiri pengajian itu.

"Darimana ya, kayaknya jauh juga, ada yang dari Jakarta juga katanya"  mas Slamet sudah mulai malas menanggapi pertanyaan Simul.
"Gini aja Mul nanti aku bilang ke temenku yang ngajakin kemarin, kalau kamu pengen ngaji, biar besok pas jadwal ngaji dia nyamper kamu"  saran mas Slamet ke Simul.

"Okey mas kalau gitu, siap"  Simul menutup obrolan itu bersemangat, bayangannya sudah mulai menerawang larut dalam suasana pengajian yang ia cari selama ini.

Tibalah saatnya jadwal pengajian itu, teman mas Slamet akhirnya nyamper  Simul sesuai janjinya. Mereka berdua berangkat menuju kontrakan yang di maksud.

Sampai di lokasi terlihat ada beberapa orang sedang di ajak ngobrol sama seseorang yang sepertinya di sebut Ustadz itu. 

"Assalamu'alaikum ....." Salam Simul dan teman barunya dari luar kontrakan.

Bersambung ...........

#Day12novAISEIWritingChallenge

Jumat, 13 November 2020

MERANTAU DAN GALAU


Simul Remaja yang mulai beranjak dewasa ternyata tak mampu bertahan untuk mengabdikan hidupnya memajukan kampung halamannya.

Lulus SMEA dia langsung  meninggalkan kampung halaman tercinta dengan meninggalkan kedua orang tuanya untuk mengadu nasib ke kota Jakarta.

Kenangan-kenangan indah saat dia aktif di IRMA (Ikatan Remaja Masjid Al-Amin) dan PSPN (Persatuan Sepak bola Putra Ngadipiro) pun tak mampu menahannya untuk tetap bertahan dan mengembangkan organisasi ini sebagai wadah bersosialisasi dan pengembangan diri.

Keberangkatan menuju ibukota sudah di nanti-nanti, tiket bis sudah di pesan, surat pindah kependudukan sudah di urus, ijazah dan semua surat-surat sudah lengkap untuk bekal persiapan melamar pekerjaan. 

Impiannya hanya sederhana, bisa bekerja di kantor sebagai administrasi di  belakang meja dan bekerja menggunakan komputer. Sangat sederhana.

Setibanya di Jakarta, dia bingung, apa yang dia bayangkan selama ini ternyata jauh panggang dari api, ia menumpang tinggal bersama kakaknya yang bekerja sebagai sopir pribadi, pagi berangkat sore menjelang Maghrib baru pulang, terkadang malam baru pulang.

Praktis Simul mesti melamar pekerjaan sendiri tanpa bantuan siapa-siapa. Bahkan untuk mengurus KTP DKI pun ia harus beranikan diri jalan sendiri ke Kelurahan dan kantor kependudukan. Dengan berbekal surat pindah dari kampungnya.

Koran Pos Kota adalah langganannya waktu itu, bukan berita kriminal atau kisah kartun Si Otoy yang ia baca, tapi informasi Lowongan pekerjaan yang ia pantengin setiap hari. Setiap ada lowongan ya g membutuhkan tenaga administrasi ia tandai, kemudian besoknya ia datangi dengan naik metromini atau kopaja.

Siang atau sore selepas melamar pekerjaan di perkantoran dan gedung-gedung bertingkat, ia kembali dengan membawa koran Pos Kota terbaru untuk berselancar mencari lowongan kerja lagi.

Sudah puluhan lowongan pekerjaan yang ia sambangi, namun pekerjaan itu tak kunjung ia dapatkan. Galau dan gundah gulana ia rasakan, harapan dan impian yang selama ini ia bayangkan ternyata benar-benar tidak sesuai dengan kenyataan.

Sementara dia sudah mendengar kabar, teman-teman sekelasnya dulu sudah banyak yang bekerja, ada yang di kantor, ada yang di Supermarket dan ada juga yang menjadi Sales.

Kegalauan hatinya cukup lama ia rasakan, "Ya Allah, mesti gimana lagi aku ini" ....,gumamnya saat duduk di depan Supermarket Aldiron Plaza Blok M pagi itu selepas membeli koran Pos Kota.

Ia melihat orang-orang hilir mudik di depan matanya, mereka setengah berlari mengejar bis kota untuk berangkat kerja. Sementara Simul duduk termenung sebagai seorang pengangguran. 

"Sampai kapan aku seperti ini ?" .....lirihnya dalam hati.


Bersambung .......... 

#Day10novAISEIWritingChallenge


MOMENTUM SAAT BACA BUKU

Aku termenung melihat buku kiriman bu Aam yang berjudul Mengukir Mimpi jadi Penulis Hebat, Sudah beberapa hari buku ini sampai di tanganku, kubaca judulnya, ku buka profil penulisnya, kata pengantar dari para pakar, ku buka bab demi bab.

ku baca penuh semangat sebagaimana semangat para pemateri di buku itu, semangat untuk menulis, semangat untuk berkarya dan semangat untuk menorehkan tinta sejarah untuk anak cucu nanti.

Buku itu dan komunitas belajar menulis telah merubah keraguanku karena kekuranganku, menjadi semangatku untuk melakukan sesuatu sebagai wujud perjuanganku menghasilkan karya nyata di dunia.

Karena itu semua, akhirnya kuputuskan untuk melanjutkan cerita tentang anak dusun yang tidak terkenal itu untuk menunjukkan perjuangannya menggapai mimpinya, mimpi yang bukan sekedar mendunia tetapi juga mengakherat.

Merindukan Mahkota Surga adalah impian yang tidak mustahil, itu impian yang bisa di rencanakan, tentu dengan perjuangan yang tidak ringan, dengan komitmen yang tinggi untuk melakukannya dan butuh evaluasi sampai akhir hayat kita.

Impian yang aneh ?
Bukan, ini bukan impian yang aneh, karena ini terkait dengan keimanan, terkait dengan keyakinan.

Baiklah, kita lanjutkan cerita tentang anak dusun itu yang sudah sampai di episode Merantau dan galau, selamat membaca !



<marquee>Bersambung</marquee>

#Day9novAISEIWritingChallenge





Rabu, 11 November 2020

PENGALAMAN PERTAMA MENGAJAR


Masih berkisah tentang seorang anak Dusun di pojokan Propinsi DIY yang bercita-cita pergi ke kota untuk merubah nasib demi keluarga. 

Perjalanan panjang yang mengikuti arus takdir dari sang Maha Penentu keputusan hidup seseorang. begitupun dengan takdir yang di jalani anak dusun ini.

Sebelum hijrah menuju ke kota yang biasa jadi impian dan idaman anak-anak kampung, remaja tanggung ini sempat mengenyam pendidikan praktis berorganisasi melalui wadah IRMA (Ikatan Remaja Masjid Al-Amin) Ngadipiro Kidul.

Sekretaris dan Ketua adalah langganan jabatannya di organisasi mini lokal ini. Pernah satu ketika sebelum terpilih menjadi Ketua IRMA, Simul merasa ada yang aneh dengan pelaksanaan Voting yang dilakukan malam itu.

Kandidat kuat menjadi Ketua adalah calon incumbent yang cukup lama menjabat sebagai Ketua. Karena ingin suasana baru, remaja yang lain ingin melakukan pergantian Ketua dan Simul menjadi salah satu yang di jagokan.

Tibalah saatnya penghitungan suara. Panitia mulai membuka dan menghitung surat suara yang berbentuk gulungan kertas mirip kocokan arisan dan bertuliskan nama calon ketua (namanya juga voting ala dusun ...hehehe)

"Yanto" ..... Sah
"Yanto" ..... Sah
"Simul cerdas dan bijaksana" ......Sah
"Simul cerdas dan bijaksana" ...... Sah

Begitu seterusnya berselang seling antara Yanto (incumbent) dan Simul sang penantang, lucunya, setiap ada suara Simul selalu di sertai tulisan cerdas dan bijaksana, ini voting rada aneh, seperti ada yang menggerakkan dan memberikan komanda untuk menambahkan tulisan itu.

Di akhir voting akhirnya Simul memperoleh suara terbanyak dan secara otomatis menjadi ketua IRMA periode itu.

Sejak menjabat sebagai ketua, Simul makin aktif di kegiatan masjid. Beberapa hal yang ditekankan oleh ketua baru adalah penertiban administrasi, laporan keuangan dan lain-lain yang di ketik memakai mesin ketik manual jaman dulu (1993).

Hal lain yang menjadi prioritas pengurus baru adalah memakmurkan TPA (Taman Pendidikan Al-Qur'an) yang mulai berkoordinasi dengan BAMUSTAMAS (Badan Musyawarah Takmir Masjid) sekecamatan Semin.

Sudah mulai di adakan wisuda TPA bagi yang lulus Iqro 6 dan menuju Juz 'Amma. Simul yang mulai sekolah di SMEA Muhammadiyah Semin ikut aktif mengajar TPA, mengajar Iqro adik-adik SD dan SMP yang ada di dusunnya.

Pengalaman pertama mengajar Iqro saat itu sungguh menjadi pengalaman berharga dalam hidupnya, bagaimana harus bersabar membimbing anak orang, harus sabar mengarahkan anak-anak yang mempunyai katakter yang berbeda-beda ......

Bersambung .......

#Day8novAISEIWritingChallenge



Selasa, 10 November 2020

PIDATO PERDANA

                 Foto hanya Ilustrasi

Tak terasa Simul Kecil sudah mulai beranjak remaja, dia melanjutkan sekolahnya di SMP Negri 1 Semin, berjarak 5 Km dari rumah orang tuanya.

Simul berangkat ke sekolah bersama teman-temannya naik angkot, ongkos kala itu Rp. 50,- sekali jalan, jadi Pergi pulang Rp. 100,- itu tarif naik angkot anak sekolah sekitar tahun 1990 an di Kecamatan Semin Kabupaten Gunungkidul.

Tambah usia, tambah keberanian dan tambah teman, itulah perkembangan yang terjadi pada Simul remaja. Meski dia anak Dusun yang kampungnya belum berlistrik, tapi harapan dan cita-citanya terang benderang.

Secara akademis Simul remaja termasuk yang cukup bagus karena selalu peringkat 3 besar di kelasnya, bahkan ketika masuk SMP Negri 1 Semin, NEM nya (Nilai Ebtanas Murni), kalau sekarang nilai UN, peringkat ke-6 dari 300 an siswa yang mendaftar .

Pengalaman berharga pertama kali datang ke kota kecamatan adalah saat Simul bersama Tri wandono dan Saltini mewakili SD se-Rejosari (tingkat desa) ikut lomba Cerdas Cermat Agama (CCA) tingkat kecamatan.

Meski tak berhasil menjadi juara 1, tapi moment itu telah membuat Simul Dkk menjadi lebih PD ( Percaya Diri) dan menambah pengalaman tampil di tingkat kecamatan.

Sementara pidato perdananya Simul, dia tampilkan saat lomba pidato di Masjid Al-Amin saat bulan Ramadhan dan berhasil menjadi juara 1. Metode yang di pakai adalah menghafal naskah yang sudah di buat sebelumnya.

Sejak itu, Simul selalu tampil mengikuti lomba-lomba apa saja yang berkaitan dengan agama, baik lomba di Masjid dusunnya juga lomba yang di adakan oleh sekolah. Dia menganggap penting mengikuti lomba-lomba itu sebagai ajang pembelajaran tampil di depan umum.


Bersambung ......  

#Day7novAISEIWritingChallenge







Minggu, 08 November 2020

IKUT LOMBA-LOMBA

                      Foto hanya ilustrasi 

Yang paling mengasyikkan setelah sekian bulan ngaji  apalagi kalau bukan pelaksanaan lomba-lomba .......uji kemampuan, kecerdasan dan keberanian.

Meski hanya tingkat Dusun, tapi cukup meningkatkan adrenalin para pesertanya, tak terkecuali Simul kecil. 

Simul butuh pembuktian dari hasil belajarnya selama ini, apakah sesuai target atau tidak, sesuai ekspektasi atau tidak ( eh ...,anak dusun jaman dulu mana tau ekspektasi ?) ......mungkin itu bahasa Simul milenial seperti sekarang ini.....hehehe

Jenis-jenis lomba yang biasa di pertandingkan di Masjid Al-Amin antara lain :
1. Lomba Cerdas Cermat beregu.
2. Lomba Bacaan Shalat beregu.
3. Lomba Wudhu perorangan.
4. Lomba Adzan perorangan.
5. Lomba Pidato perorangan.
6. Lomba Membaca Iqro/Al-Qur'an.

Dari keenam jenis lomba yang di pertandingkan tersebut, biasanya Simul kecil ikut semua dan biasa menjadi langganan juara 1 lomba Cerdas Cermat beregu, Lomba Bacaan Shalat beregu, Lomba Adzan perorangan dan lomba Pidato perimorangan.

Saat pembagian hadiah adalah saat-saat yang mendebarkan, di depan jama'ah yang terdiri dari orangtua dan para santri terdapat meja panjang.
Panitia sengaja memajang hadiah-hadiah itu di atas meja untuk membuat suasana menjadi lebih seru dan mendebarkan.

Artis papan atas yang menerima panasonic award karena penampilannya di sebuah film, masih kalah berdebarnya dibanding Simul yang sedang menunggu di panggil menerima hadiah saat itu.

Saatnya tiba, MC ( Master of Cermony) memanggil satu persatu sang juara untuk maju kedepan menerima hadiah istimewa itu. 

Dan tibalah pembacaan Juara lomba pidato :
".......selanjutnya adalah pembacaan juara lomba pidato perorangan, bagi yang di panggil namanya harap maju ke depan, Juara satu, dengan nilai 1789 di raih oleh ..........Simullllll"

Suara  riuh di masjid itu tambah seru (namun tetap menjaga adab di masjid) saat sang juara di panggil, karena itu panggilan untuk ketiga kalinya setelah meraih juara 1 lomba Adzan perorangan dan juara 1 lomba Cerdas cermat beregu.

Dengan langkah penuh percaya diri, Simul menuju ke depan untuk meraih hadiah kotak besar yang di bungkus kertas warna coklat dan bertuliskan JUARA 1 LOMBA PIDATO.

Dalam hati Simul berkata :"Alhamdulillah ya Allah, gemetaran saya sudah hilang sekarang"

Bersambung .........

#Day6novAISEIWritingChallenge

 


SEMANGAT BELAJAR

Selalu bersemangat saat belajar itu menjadi hal yang sangat penting bagi seorang pembelajar. Hal ini juga yang harus di perhatikan oleh seorang pengajar, bagaimana menghidupkan suasana belajar menjadi hidup dan menyenangkan. 

Tak terkecuali mengajar TPA di dusun yang belum masuk listrik seperti di tempat tinggal Simul, tentu butuh kreatifitas para pengajarnya. Karena biasanya anak-anak dusun cenderung pasif, jadi sang guru harus ekstra kreatif untuk menghidupkan suasana.

Seminggu 2 kali jadwal ngaji di sore hari, jam 15.30 sampai dengan jam 17.30…. Simul selalu hadir tepat waktu, karena dia memang tipikal anak yang bersungguh-sungguh jika mengerjakan sesuatu.

Untuk mengurangi kejenuhan saat mengaji di dalam ruangan, pengurus TPA memutuskan untuk ngaji di ruang terbuka, dan yang di pakai  halaman pojok rumah salah satu pengajar yaitu mas Eko. Ngaji di bawah pohon sawo. Pengajian di luar ruangan ini hanya dilakukan sesekali sebagai selingan.

Berkat semangat dan konsistensinya, Simul mampu menyelesaikan Iqro jilid 6 dengan cepat dan tak ketinggalan dengan teman-temannya.

Simul juga sudah hafal semua gerakan dan bacaan dalam Shalat beserta dzikir lanjutan setelah Shalat. Simul seperti berjalan sendiri, mengalir mengikuti arus hidayah dan kasih sayang Allah kepadanya karena ketulusan dan semangatnya itu.

Sejak saat itu ia berusaha tidak meninggalkan shalatnya meskipun tak ada yang mengingatkan. Simul kecil seperti mencari dan terus mencari dimanapun hidayah itu ada, dia mencari hidayah untuk menjemputnya menjadi teman setia.

Ceramah di kaset khas KH. Zainudin MZ menjadi salah satu sumber rujukan fatwa kala itu. Beliau dai kondang sejuta umat yang mampu memukau para pendengar dan jama'ah yang mendengarkan suaranya.

Logat khas Betawi diselingi guyon-guyon renyah membuat pendengar dan jama'ah makin betah, tak mau beranjak pergi sebelum beliau mengucapkan salam penutupan.

Ceramah beliau inilah yang makin membuat Simul bersemangat mendalami Islam, dan hari-hari bahagia yang dinantikan Simul kecil adalah saat datangnya bulan suci Ramadhan.

Bersambung ............,

#Day5novAISEIWritingChallenge




Sabtu, 07 November 2020

JADI SANTRI DI TPA

 

                             Foto hanya ilustrasi
 
Saat Simul kelas 3 SD sekitar tahun 1985, dusun Ngadipiro kidul sudah memiliki Masjid sendiri, meskipun masih sederhana, namanya Masjid Al-Amin yang didirikan atas swadaya masyarakat dan lokasinya tidak jauh dari rumah pak Wardi sang guru ngaji.
            
Antusiasme anak-anak muda kala itu untuk memakmurkan masjid sungguh sangat luar biasa, mereka rata-rata masih sekolah di tingkat SLTA ( Sekolah Lanjutan Tingkat Atas). 

Ada yang di SMEA Muhammadiyah Semin seperti Mas Eko Sukanto, yang di SMA Watu payung seperti Mas Sutomo dan Mas Wagiyanto, SMA Muhammadiyah Manyaran di wakili Mas Sakino.
         
Serta remaja-remaja lainnya yang tergabung dalam Ikatan Remaja MAsjud Al-Amin yang di singkat IRMA. 
     
Simul kecil sangat terkesan mengikuti pengajian hafalan yang di adakan di rumah pak Wardi, hingga saat IRMA mendirikan TPA ( Taman Pendidikan Al-Qur'an) kala itu, Simul ikut bergabung juga menjadi santri di TPA tersebut. 

Buku panduan yang di gunakan untuk belajar mengajar dan mengenal huruf hijaiyah  waktu masih Qiroati 10 jilid yang baru, kemudian diperbaharui ke Iqro dengan 6 jilid karangan KH. As'ad Humam dari Jogjakarta yang terkenal sampai saat ini.
     
Dengan beberapa pertimbangan, pelaksanaan TPA di adakan di sore hari selepas Sholat Ashar, agar anak-anak usia SD bisa ikut semua.Namun selalu terjadi seleksi alam di hal apapun, tak terkecuali santri TPA Al-Amin ini. Awal di buka TPA peserta begitu membludak saking antusiasmenya orangtua ingin anaknya bisa ngaji.

Berjalannya waktu akhirnya santri TPA terseleksi dengan sendirinya, santri mulai berkurang dan dari situlah nanti lahir santri-santri yang konsisten meneruskan organisasi Ikatan Remaja Masjid Al-Amin.
       
Semangat menjadi santri TPA membuat Simul jarang absen saat jadwal pengajian sore, dia selalu hadir jalan kaki yang berjarak sekitar 500 meter dari rumahnya

Simul tak mau lagi malu di depan teman-temannya karena nggak hafal surat Al-Fatihah, atau suatu saat nanti  nggak bisa baca Al-qur'an karena jarang hadir di pengajian. 

Gemetaran yang pernah dulu pernah ia rasakan saat pertama kali di suruh baca Al-Fatihah dan nggak bisa masih sangat terasa di benaknya dan itulah yang yang membuat Simul memacu dirinya untuk bisa berprestasi seperti teman-temannya.

Bersambung .......


#Day4NovAISEIWritingChalenge
                    
            





GILIRAN BACA, GEMETERAN

       Foto hanya ilustrasi, karena dokumen tahun
    1984 belum ada, kamera masih barang mewah

Tibalah saatnya ngaji pertama kalinya simul kecil, dia hanya sekedar hadir di majelis pengajian itu bersama kedua kakaknya mbak Marti dan Mas Gino. Pengajian itu memang di hadiri anak-anak dan remaja, dan di kelompokkan sesuai kemampuan masing-masing.

Belum ada buku Iqro apalagi Utsmani, Qiroati atau buku metode lain. Yang di ajarkan hanya hafalan surat-surat pendek, do'a-doa harian dan belajar shalat.

Meskipun jantung berdetak cukup kencang, Simul tetap mengikuti pengajian itu, dia berkata dengan dirinya sendiri " Terangane okeh tenan sing melu ngaji" (Ternyata banyak juga yang ikut ngaji) ......dia seolah masuk kedunia lain, karena itu pengalaman pertama baginya.

Suara hafalan surat-surat pendek bersahut-sahutan antar kelompok, ada yang sedang menghafal surat Al-Ikhlas, kelompok sebelahnya menghafal surat Al-Lahab. Sementara kelompoknya Simul sedang fokus menghafal surat Al-Fatihah.

Pengajian itu di pusatkan di rumah Bapak Suwardi, guru madrasah sekaligus guru ngaji, karena dusun Ngadipiro kidul belum punya Masjid. Pak Wardi biasa beliau di sebut begitu, di bantu oleh beberapa Pemuda-pemudi yang sudah hafal surat-surat pendek dan hafal bacaan Shalat.  

Satu persatu sebelah Simul sudah setoran hafalan surat Al-Fatihah dengan lancar, karena mereka sudah ikut ngaji beberapa kali. Saatnya Simul di panggil oleh pengajarnya :
"Simul, ayo Mul saiki giliranmu!" (Simul, ayo Mul sekarang giliranmu)........

"Kulo dereng saget mas" (saya belum bisa mas) jawab Simul gemeteran sambil nahan jangan sampai nangis malam itu.

"Ooo kowe nembe melu pisan iki yo" (ooo kamu baru ikut malam ini ya) .....tanya Mas pengajarnya.

"Nggih mas" (iya mas) ....jawab Simul masih gemeteran ......

Pengalaman pertama mengaji sungguh membuat Simul serba salah, dia menjadi pusat perhatian kelompoknya karena belum hafal Surat Al-Fatihah sama sekali. 

"Yowis, kowe tirokke aku yo !" (Ya sudah kamu ikutin saya ya) .....,"Bismillahirrahmaanirrahiim" .....

Tetap sambil gemetar dan sekujur tubuhnya panas dingin, tapi Simul tetap mengikuti apa yang di baca oleh pengajarnya ...

"Bismillaahirrahmaanirrahiim" .... Itulah lafadz pertama yang keluar dari mulut Simul saat mengaji pertama kali di saksikan tatapan mata teman-teman kelompok ngajinya .......

Bersambung .........

#Day3NovAISEIWritingChallenge

Kamis, 05 November 2020

SEKEDAR IKUT-IKUTAN


1984,
Jogja 60 Kilo itu sebutan untuk Gunungkidul yang jaraknya memang sekitar 60 Kilometer dari pusat kota Jogja. 

Kisah ini berawal dari dusun Ngadipiro kidul, desa Rejosari, kecamatan Semin, kabupaten Gunungkidul yang merupakan wilayah paling timur propinsi DIY (Daerah Istimewa Yogyakarta) dan menjadi wilayah perbatasan antara propinsi DIY dan propinsi Jawa tengah, tepatnya antara kabupaten Wonogiri (Jateng) dan kebupaten Gunungkidul (DIY).

Dusun yang di kelilingi oleh pegunungan itu terlihat asri dan nyaman, meskipun hanya dusun kecil dengan jumlah Kepala keluarga kurang lebih 100 KK, tetapi suasana dusun saat musim hujan dusun ini nampak begitu sejuk karena tanaman-tanaman tumbuh menghijau nan asri.

Meski aliran  listrik belum sampai ke dusun ini, tetapi semangat belajar dan mengaji anak-anak dusun saat malam hari begitu antusias hanya dengan penerangan lampu teplok (lampu minyak), untuk mengaji mereka harus berjalan menembus gelapnya malam untuk mendatangi rumah guru ngaji di dusun ini.

Bermodalkan oncor (obor), anak dusun ini ramai-ramai menuju rumah guru ngaji satu-satunya, Bapak Suwardi namanya, seorang Guru Madrasah yang mengabdikan dirinya di siang hari di sekolah dan malam harinya mengajar anak-anak mengaji di rumahnya.

Seorang anak kecil berusia sekitar 7 tahun tengah asyik bermain kelereng dengan teman-temannya, salah satu di antara mereka yang anaknya paling aktif membuka perbincangan dengan logat jawa yang kental :
"Mul,  engko bengi melu ngaji yuk !" 
(Mul, nanti malam ikut ngaji yuk) ajak Yanto kepada Simul, teman main kelerengnya siang itu.

"Isin aku, ra iso ngaji, urung pernah melu"
( Malu aku, nggak bisa ngaji, belum pernah ikut) jawab Simul sambil melepas tembakan kelerengnya ke kelereng Yanto.

"Rapopo, kancane akeh koq, aku yo nembe melu"
(Nggak apa-apa, temannya banyak koq, aku juga baru ikut), ucap Yanto meyakinkan temannya tersebut untuk mau datang ikut ngaji malam harinya.

"Yowis melu aku mengko bengi”
(Ya sudah aku ikut nanti malam), akhirnya Simul terpengaruh ajakan Yanto.

Menjelang malam, Simul mulai deg-degan, dia serba salah, berangkat ngaji mau pakai celana panjang apa sarung, mau pakai sarung, nggak ada sarung yang kecil, adanya sarung Bapak yang sudah kusut. Terpaksalah sarung itu yang di pakainya.

Bersambung ........

#Day2NovAISEIWritingChallenge






Sudah Siap Nak ?

   Dokumentasi Latansa DPW PKS Banten Beberapa waktu lalu di Group WA kader dishare pengumuman tentang akan dilaksanakannya Latansa (pelatih...