BIM Berbagi

BIM Berbagi

Sabtu, 07 November 2020

JADI SANTRI DI TPA

 

                             Foto hanya ilustrasi
 
Saat Simul kelas 3 SD sekitar tahun 1985, dusun Ngadipiro kidul sudah memiliki Masjid sendiri, meskipun masih sederhana, namanya Masjid Al-Amin yang didirikan atas swadaya masyarakat dan lokasinya tidak jauh dari rumah pak Wardi sang guru ngaji.
            
Antusiasme anak-anak muda kala itu untuk memakmurkan masjid sungguh sangat luar biasa, mereka rata-rata masih sekolah di tingkat SLTA ( Sekolah Lanjutan Tingkat Atas). 

Ada yang di SMEA Muhammadiyah Semin seperti Mas Eko Sukanto, yang di SMA Watu payung seperti Mas Sutomo dan Mas Wagiyanto, SMA Muhammadiyah Manyaran di wakili Mas Sakino.
         
Serta remaja-remaja lainnya yang tergabung dalam Ikatan Remaja MAsjud Al-Amin yang di singkat IRMA. 
     
Simul kecil sangat terkesan mengikuti pengajian hafalan yang di adakan di rumah pak Wardi, hingga saat IRMA mendirikan TPA ( Taman Pendidikan Al-Qur'an) kala itu, Simul ikut bergabung juga menjadi santri di TPA tersebut. 

Buku panduan yang di gunakan untuk belajar mengajar dan mengenal huruf hijaiyah  waktu masih Qiroati 10 jilid yang baru, kemudian diperbaharui ke Iqro dengan 6 jilid karangan KH. As'ad Humam dari Jogjakarta yang terkenal sampai saat ini.
     
Dengan beberapa pertimbangan, pelaksanaan TPA di adakan di sore hari selepas Sholat Ashar, agar anak-anak usia SD bisa ikut semua.Namun selalu terjadi seleksi alam di hal apapun, tak terkecuali santri TPA Al-Amin ini. Awal di buka TPA peserta begitu membludak saking antusiasmenya orangtua ingin anaknya bisa ngaji.

Berjalannya waktu akhirnya santri TPA terseleksi dengan sendirinya, santri mulai berkurang dan dari situlah nanti lahir santri-santri yang konsisten meneruskan organisasi Ikatan Remaja Masjid Al-Amin.
       
Semangat menjadi santri TPA membuat Simul jarang absen saat jadwal pengajian sore, dia selalu hadir jalan kaki yang berjarak sekitar 500 meter dari rumahnya

Simul tak mau lagi malu di depan teman-temannya karena nggak hafal surat Al-Fatihah, atau suatu saat nanti  nggak bisa baca Al-qur'an karena jarang hadir di pengajian. 

Gemetaran yang pernah dulu pernah ia rasakan saat pertama kali di suruh baca Al-Fatihah dan nggak bisa masih sangat terasa di benaknya dan itulah yang yang membuat Simul memacu dirinya untuk bisa berprestasi seperti teman-temannya.

Bersambung .......


#Day4NovAISEIWritingChalenge
                    
            





GILIRAN BACA, GEMETERAN

       Foto hanya ilustrasi, karena dokumen tahun
    1984 belum ada, kamera masih barang mewah

Tibalah saatnya ngaji pertama kalinya simul kecil, dia hanya sekedar hadir di majelis pengajian itu bersama kedua kakaknya mbak Marti dan Mas Gino. Pengajian itu memang di hadiri anak-anak dan remaja, dan di kelompokkan sesuai kemampuan masing-masing.

Belum ada buku Iqro apalagi Utsmani, Qiroati atau buku metode lain. Yang di ajarkan hanya hafalan surat-surat pendek, do'a-doa harian dan belajar shalat.

Meskipun jantung berdetak cukup kencang, Simul tetap mengikuti pengajian itu, dia berkata dengan dirinya sendiri " Terangane okeh tenan sing melu ngaji" (Ternyata banyak juga yang ikut ngaji) ......dia seolah masuk kedunia lain, karena itu pengalaman pertama baginya.

Suara hafalan surat-surat pendek bersahut-sahutan antar kelompok, ada yang sedang menghafal surat Al-Ikhlas, kelompok sebelahnya menghafal surat Al-Lahab. Sementara kelompoknya Simul sedang fokus menghafal surat Al-Fatihah.

Pengajian itu di pusatkan di rumah Bapak Suwardi, guru madrasah sekaligus guru ngaji, karena dusun Ngadipiro kidul belum punya Masjid. Pak Wardi biasa beliau di sebut begitu, di bantu oleh beberapa Pemuda-pemudi yang sudah hafal surat-surat pendek dan hafal bacaan Shalat.  

Satu persatu sebelah Simul sudah setoran hafalan surat Al-Fatihah dengan lancar, karena mereka sudah ikut ngaji beberapa kali. Saatnya Simul di panggil oleh pengajarnya :
"Simul, ayo Mul saiki giliranmu!" (Simul, ayo Mul sekarang giliranmu)........

"Kulo dereng saget mas" (saya belum bisa mas) jawab Simul gemeteran sambil nahan jangan sampai nangis malam itu.

"Ooo kowe nembe melu pisan iki yo" (ooo kamu baru ikut malam ini ya) .....tanya Mas pengajarnya.

"Nggih mas" (iya mas) ....jawab Simul masih gemeteran ......

Pengalaman pertama mengaji sungguh membuat Simul serba salah, dia menjadi pusat perhatian kelompoknya karena belum hafal Surat Al-Fatihah sama sekali. 

"Yowis, kowe tirokke aku yo !" (Ya sudah kamu ikutin saya ya) .....,"Bismillahirrahmaanirrahiim" .....

Tetap sambil gemetar dan sekujur tubuhnya panas dingin, tapi Simul tetap mengikuti apa yang di baca oleh pengajarnya ...

"Bismillaahirrahmaanirrahiim" .... Itulah lafadz pertama yang keluar dari mulut Simul saat mengaji pertama kali di saksikan tatapan mata teman-teman kelompok ngajinya .......

Bersambung .........

#Day3NovAISEIWritingChallenge

Sudah Siap Nak ?

   Dokumentasi Latansa DPW PKS Banten Beberapa waktu lalu di Group WA kader dishare pengumuman tentang akan dilaksanakannya Latansa (pelatih...