BIM Berbagi

BIM Berbagi

Selasa, 23 Maret 2021

MAS BEJO

Mas Bejo, 
Benarkah Nasibnya tak sebejo namanya ?

(Cerpen kehidupan, kisah fiksi yang di angkat dari kehidupan seorang Petani sekaligus pedagang di pinggiran kota Jogjakarta, jika ada Nama dan tempat yang sama ini hanya kebetulan semata untuk menambah cerita agar benar-benar terasa nyata, by Kang Mul Jozz)

Namanya Bejo, tapi orang-orang lebih suka memanggilnya mas Bejo, karena wajahnya yang teduh dan bersahabat, jadi siapapun yang mengenalnya langsung akrab dan bisa ngobrol berjam-jam bertema apa saja yang penting happy dan obrolannya nyambung, apalagi jika ditemani kopi plus pisang goreng, wow obrolan makin seru.

Mas Bejo memang tergolong orang yang Bejo sesuai namanya. Bejo itu nama asli Jawa yang artinya Beruntung. Tapi suatu ketika mas Bejo justru merasa hidupnya tidak beruntung, padahal dia termasuk orang yang cerdas dan berprestasi waktu sekolahnya.

Waktu sekolah dari sejak SD sampai SMA, mas Bejo selalu rangking 5 besar dan terkadang sampai ke puncak peringkat 1 di kelasnya, kejar-kejaran sama 5 besar lainnya. Teman-temannya juga mengakui kalau mas Bejo atau si Bejo itu orang yang cerdas, selain itu Bejo remaja (waktu SMA) termasuk remaja yang supel dan pandai bergaul.

Di kampungnya, di pinggiran kota Jogja lebih dekat dengan Solo, Bejo termasuk anak yang rajin dan aktif di kegiatan remaja Masjid, selain itu Bejo juga rajin olah raga khususnya Beladiri Pencak silat dan Sepak Bola. Bahkan untuk olahraga pencak silat ini, Bejo pernah menjadi atlet sampai ke tingkat Propinsi mewakili ikatan Pencak Silat Indonesia (IPSI) Kabupaten Gunungkidul. Sayangnya dia kandas di atas matras kalah melawan atlet pencak silat dari Kabupaten Sleman saat sabung memperebutkan juara 1 di final tingkat Propinsi.

Namun hal itu tak menyurutkan Bejo untuk berlatih dan berlatih setiap ada kesempatan. Meskipun dia gagal jadi atlet ke tingkat Nasional, namun Bejo di percaya di Perguruan Pencak Silatnya menjadi asisten pelatih yang kelak di akhir kisahnya Bejo menjadi Pelatih bela diri pencak silat yang di segani baik oleh kawan maupun lawan.

Keaktifan Bejo di bidang olahraga ini cukup membuat Bejo di kenal di kalangan anak-anak muda, baik seusianya maupun senior atau yuniornya di kampung tempat Bejo tinggal, sehingga banyak adik-adik yuniornya mengidolakan Bejo karena mampu bersaing sampai tingkat Propinsi. Suatu prestasi yang membanggakan mengingat kampung Bejo adalah desa yang cukup terpencil jauh dari aspal hitam.

Jalanan ke kampung Bejo masih berupa tanah dan bebatuan, kalau musim penghujan jalanan jadi becek,  karena saat di guyur hujan, tanah jalanan yang berwarna kemerahan itu menjadi licin dan becek,  agak sulit untuk di lalui kendaraan roda 2.

Bejo sendiri berangkat sekolah bersepeda bersama beberapa temannya, jarak dari rumah ke sekolah cukup jauh sekitar 5 kilometer melewati tanjakan dan turunan yang cukup terjal, namanya juga tinggal di Gunung, ya jalur yang di lalui pasti naik turun.

6 tahun menjalani rutinitas berangkat dan pulang sekolah dengan bersepeda membuat Bejo dan teman-temannya terlatih fisiknya secara alami, bersepeda setiap hari (kecuali saat libur sekolah) dengan jarak tempuh total 10 Km rutin setiap hari selama 6 tahun (SMP sampai SMA) membuat Bejo mempunyai fisik yang prima, mungkin jika di test secara fair, kondisi fisik Bejo lebih baik dari atlet nasional sekalipun, sayangnya tak ada pemandu bakat yang menemukan si Bejo remaja ini untuk di proyeksikan menjadi atlet profesional.

Seusai lulus SMA Negri Watupayung, Bejo mulai bingung harus bagaimana. Mau minta kuliah nggak mungkin mengingat kondisi orangtua Bejo yang kekurangan, bahkan suatu ketika bapaknya pernah berucap usai Bejo menerima ijazah SMA nya :
"Le, bapak wis ra sanggup mbiayai sekolahmu, nek kowe arep kuliah Yo piye Carane Kowe golek beasiswa opo Nyambi kerjo, Ning karepe bapak, kowe neruske nggarap sawah bapak kae, Yo gur senadyan mung patang kedok yooo ....lumayan nggo nyambung Urip neng ndeso"  ujar bapaknya Bejo dengan penuh kepasrahan. 
(Arti dan maksud beberapa istilah : Le itu sebutan untuk anak laki-laki* 
"Le, bapak sudah nggak sanggup membiayai sekolahmu, kalau kamu mau kuliah ya gimana caramu cari beasiswa atau sambil kerja, tapi bapak maunya kamu nerusin ngurus sawah bapak itu, ya meskipun hanya empat petak tapi ya lumayan buat nyambung hidup di kampung"))

Pupus sudah harapan Bejo untuk menyandang gelar sarjana yang di idamkannya. Rasanya malu saat ketemu temannya yang dulu sekolahnya hanya ala kadarnya, asal masuk, bahkan sering membolos, di tambah lagi kalau pas ujian pada nyontek. "Sekolah model apa itu" gumam Bejo dalam hati.

4 tahun sesudahnya, mereka yang tukang nyontek itu bergelar Sarjana, pulang bawa toga dan jadi kebanggan keluarga.

Sedangkan Bejo, setiap hari pegangannya cangkul, arit (sabit) sama gathul (Alat pembersih tradisional untuk rumput). Pagi-pagi, saat teman-temannya yang sarjana berangkat kerja ke kantor, baik di Bank, jadi Guru, PNS atau kerja di kantor swasta lainnya, Bejo dengan langkah gontai menuju sawah peninggalan Bapaknya.

Bejo menahan beban perasaan sebagai peringkat 5 besar di kelasnya dulu yang cerdas dan tak pernah nyontek, harus kalah bersaing di kehidupan nyata di banding teman-temannya yang sarjana, yang tukang nyontek karena mereka bekerja kantoran yang bergengsi. Beban itu ia pendam bertahun-tahun tak ada yang tau, kecuali Bejo sendiri.

Sore itu, selepas Sholat Ashar di masjid dekat rumah, Bejo melepas lelah setelah seharian mengairi sawah dan membersihkan rumput-rumput yang numpang hidup diantara padi yang mulai tumbuh.

"Mas, itu kopi sudah di bikin ya,  sama pisang goreng, saya taruh di meja balkon atas ya, saya mandiin dede dulu"  istri Bejo mempersilahkan Bejo menikmati Kopi dan pisang goreng kesukaannya, sementara Maya istri Bejo segera memandikan anak semata wayangnya yang baru berumur 2,5 tahun.

Kebiasaan ini sudah Bejo nikmati bertahun-tahun. Sore selepas sholat Ashar, Bejo selalu duduk di Balkon lantai 2 rumahnya sambil menikmati kopi hitam dan cemilan apa saja yang di hidangkan istrinya, menikmati kopi sembari memandang ke arah jalanan di depan rumahnya yang mulai ramai orang-orang hilir mudik pulang kerja.

Sejak Bapaknya meninggal dunia beberapa tahun lalu, Bejo memutuskan untuk pindah rumah mendekati kantor kecamatan, dengan pertimbangan bisa membuka usaha untuk penghasilan hariannya. Ia menjual kebun miliknya untuk dibelikan rumah 2 lantai yg masih berupa bata merah yang belum finishing,  yang kebetulan di jual dengan harga yang cocok sesuai harga kebun milik Bejo peninggalan orangtuanya. Sementara rumah peninggalan ayahnya di tempati adik perempuannya yg sudah berkeluarga juga.

Dan ternyata rencana Bejo ini cukup berhasil, dia bisa membuka usaha warung nasi uduk, gorengan dan kue-kue titipan tetangganya yang di urus oleh istrinya, sementara dia sendiri hampir setiap hari ke Sawah peninggalan Bapaknya untuk memenuhi janjinya mengurus harta warisan Bapaknya tersebut, Bejo juga memelihara hewan ternak, sapi dan kambing serta beberapa ekor ayam di belakang rumahnya. 

Ibunya Bejo sudah meninggal dunia saat Bejo masih Balita, wajah ibunya sendiri, Bejo sudah lupa. Bapaknya Bejo adalah orangtua single parent yang memilih mengurus ketiga anaknya sendirian sampai lulus SMA.

Kakak Bejo sejak menikah,  langsung ikut suaminya di Jakarta. Sawah warisan orangtua yang menjadi bagian kakaknya di serahkan ke Bejo yang mengurusnya, dan setiap panen selalu di hitung sistem bagi hasilnya sesuai kesepakatan Bejo dan kakaknya. 

Untuk soal warisan orangtua mereka, Bejo dan kedua saudaranya sepakat untuk dibagi secara aturan hukum Islam berdasarkan surat An-Nissa ayat 11 yang artinya :
""Allah mensyariatkan (mewajibkan) kepadamu tentang (pembagian warisan untuk) anak-anakmu, (yaitu) bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan....."

Harta peninggalan orangtuanya berupa tanah berikut bangunan rumah yang berdiri di atas tanah tersebut, sawah 4 petak dan kebun yang kurang produktif yg hanya cocok di tanami pohon jati, akasia dan pohon sejenisnya yang akhirnya di jual dan di belikan rumah untuk tempat tinggal Bejo dan keluarganya saat ini.

Bejo mendapat bagian 1 kebun dan 2 petak sawah, sementara Kakak perempuannya mendapat 1,5 petak sawah dan adik perempuan Bejo mendapat tanah berikut bangunan rumah yang berdiri di atasnya dan 0,5 petak sawah. Semua itu sudah di perhitungkan berdasarkan nilai jual dari harta warisan tersebut dan sudah sesuai dengan prinsip "Nggendong dan mikul, Perempuan nggendong, laki-laki mikul"  

(Nggendong buat perempuan artinya dpt 1 bagian dan Mikul buat laki-laki artinya dapat 2 bagian atau 2 kali lipat dari bagian perempuan). Pembagian warisan itu di laksanakan sesuai syari'at Islam dan penuh kasih sayang antar saudara tanpa ada permasalahan yang berarti seperti beberapa kasus yang terjadi  akibat kurangnya pemahaman terhadap syariat yang satu ini, bab warisan.

Meski hampir setiap hari Bejo ngopi, tapi dia tidak merokok. Karena menurut pemahamannya, merokok itu tidak ada manfaatnya, atau dengan kata lain mudharatnya lebih banyak dari manfaatnya, karena itulah Bejo tak pernah merokok.

Redupnya sinar matahari sore itu turut menemani lamunan Bejo, ia memendam rasa bertahun-tahun tak pernah ia ungkapkan kepada siapapun, termasuk istrinya. Ia merasa gagal dalam mencapai impiannya, sekolah berprestasi okey, kuliah gagal dan bisa bekerja menjadi PNS seperti beberapa teman sekolahnya atau setidaknya bekerja di perusahaan besar dengan gaji yang wah dan bisa berganti-ganti mobil setiap tahunpun gagal total.

Impian itu pupus seiring kelulusannya dari SMA beberapa tahun lalu dan setelah itu hari-harinya di sibukkan dengan mengurus sawah peninggalan orangtuanya dan malamnya mengurus pengajian di masjid dekat rumahnya.

Memang Untuk mengobati kegundahan hatinya, Bejo sengaja menyibukkan diri mengurus pengajian dari mulai anak-anak, remaja sampai Bapak-bapak yang terdiri dari pengajian TPA (Taman Pendidikan Al-Qur'an) yang ia delegasikan kepada ibu-ibu dan remaja putri, taklim remaja dan Halaqoh Bapak-bapak yang ia adakan setiap pekan dengan menghadirkan beberapa Ustadz yang Mashur dari kecamatan Ngawen dan sekitarnya.

Meski sudah berusaha mengalihkan kegalauan hatinya atas kegagalan yang ia rasakan dengan menyibukkan diri mengurus pengajian, namun bayang-bayang kesuksesan teman-temannya, baik yang ada di kampung maupun yang merantau ke Jakarta, selalu mengganggu pikirannya, apalagi saat lebaran tiba dan sebagian besar teman-temannya pulang dengan mengendarai mobil barunya, Bejo makin minder.

Lamunan Bejo kemana-mana, masih seputar meratapi kegagalan hidupnya. Tanpa sadar ia menghela nafas seolah melepas beban berat dalam hidupnya, "Haah" ..... Terlihat kosong menatap tak jelas ke arah mana.

Cukup lama Bejo melamun, tak sadar jika sedari tadi istrinya memperhatikan gerak-gerik suaminya itu penuh tanda tanya, yang akhirnya penasaran di buatnya, "ada apa sich mas, kog kelihatannya ada beban berat banget ?" 

"Nggap ada apa-apa dik " jawab Bejo singkat.

"Nggak mungkin lah kalau nggak ada apa-apa, Mas sampai menghela nafas begitu, aku kan hafal sikapmu mas" cecar istri Bejo makin penasaran.

"Masak sich, emang kelihatan gitu ?" Bejo tak mampu lagi menyembunyikan kegalauan hatinya, sepertinya ia tak mampu lagi menyimpannya seorang diri. "Apa mesti aku ceritakan ke istri ya" pikirnya dalam hati.

"Ayolah mas cerita ke istrimu yang cantik dan tidak sombong ini, nggak perlu di sembunyikan lah, dibagi dua biar nggak berat-berat amat bawanya ....hehehe" ledek istri Bejo, meyakinkan kalau dirinya siap berbagi beban hidup dan beban perasaan.

"Iya dik, kayaknya mas udah kelamaan mikirin ini, makin di pikirin, makin jadi beban"  keluh Bejo ke istrinya.

"Sudahlah mas, ceritakan biar beban itu nggak bikin senyum manismu jadi pait akhir-akhir ini, aku kan jadi galau mas" protes istrinya yang selama ini dipendamnya tak berani menyampaikan ke suaminya, Mas Bejo tercinta yang belakangan sering uring-uringan karena ternyata bayang-bayang kegagalan itu makin mengusik kedamaian keluarganya selama ini.

"Terkadang mas berpikir, kalau kaya, miskin, sukses, gagal itu semua takdir, buat apa kita capek-capek belajar, ngejar prestasi jadi juara, pas ujungnya karena kita miskin akhirnya nggak bisa nglanjutin kuliah karena nggak ada biaya, terus terpaksa menjalani hidup jadi petani seperti sekarang ini" Bejo mulai curhat ke istrinya.

"Astaghfirullah mas Bejo, istighfar mas istighfar" Maya istri Bejo seketika menghentikan aktifitasnya ngejemur Baju saat mendengar curhatan suaminya.

"Jadi itu mas, yang membuat mas Bejo uring-uringan akhir-akhir ini ?" Maya mempertegas pertanyaannya, seakan tidak percaya dengan apa yang dipikirkan suaminya.

"Mas kan selama sekolah punya prestasi dari SD sampe SMA selalu 5 besar, kadang malah sering tembus juara 1, orangtua dan para guru sering bilang, belajar yang rajin biar berprestasi jadi juara biar nanti sukses, Ben dadi uwong katanya, biar dapat kerja yang bagus, tapi apa buktinya, tuh temen-temen mas dulu yang tukang mbolos, tukang nyontek, karena mereka anak orang kaya bisa kuliah, sekarang pada jadi PNS, kerja di Bank, kerja di Perusahaan asing gaji gede, tiap lebaran pada pake mobil baru, sementara mas Bejo suamimu ini sudah hampir 10 tahun motornya itu-itu aja, emang kamu nggak malu dek kalau ketemu temen-temen mas saat reunian ?" Uneg-uneg Bejo keluar semua, seakan apa yang menjadi bebannya selama ini pecah dan isinya berhamburan kemana-mana. Terlihat muka Bejo merah padam penuh emosi setelah menumpahkan isi hatinya.

Seketika istri Bejo terhenyak, dia berhenti melakukan pekerjaannya, dia menghampiri suaminya yang masih terlihat emosi karena meratapi keadaan, yang merasa kehidupan ekonominya jauh di bawah teman-temannya.

Maya duduk bersimpuh didepan Bejo yang masih menatap tajam ke ruang kosong seakan masih memprotes takdir yang ia jalani. Dengan memegang kedua tangan suaminya dan menatap penuh cinta dan kasih sayang yang tulus sebagai seorang istri, Maya memberanikan diri meredam amarah suaminya, "Mas, tatap mata Maya mas, lihatlah, apakah Maya selama ini sedih hidup bersamamu mas, apakah Maya selama ini menuntutmu harus punya mobil ? harus punya ini punya itu ?"  Tak tahan Air mata Maya bercucuran membasahi kedua pipinya.

"Maya bangga punya suami seperti mas Bejo, meski kata orang hanya seorang petani kampung yang tak punya masa depan, tapi Maya merasakan hidup damai tanpa beban, kita nggak punya hutang sepeserpun kan mas, bahkan ada beberapa saudara dan tetangga yang meminjam uang ke kita, dan saat kita butuh, kata mas nggak usah nagih ke mereka, saat orang-orang belum pulang kerja, mas Bejo sudah santai minum kopi di sini sambil ngeliatin mereka pulang kerja, mas masih bisa bermain sama anak-anak kapanpun mas mau, hampir setiap malam mas ngajarin Bapak-bapak dan para remaja ngaji di Masjid, ada yang belajar Iqro, ada yang belajar tajwid, selain itu selama ini kita nggak pernah hidup kekurangan mas, nikmat apalagi yang kau dustakan mas Bejo ? ....hiiiiii" tangis Maya semakin pecah tak terbendung sambil terus mencium kedua tangan suaminya.

Bejo tampak panik, khawatir ada orang yang melihat mereka berdua, khawatir dikira ada masalah apa sampai istrinya menangis histeris seperti itu.

Menyadari kondisi yang tak lazim itu, Bejo segera menggapai tangan istrinya yang masih terisak dan di papah menuju ke ruang keluarga, "sudah-sudah jangan nangis lagi, ma'afin Mas, makanya kenapa bertahun-tahun mas pendam rasa ini sendirian, karena mas tau dek Maya pasti ikut terbawa emosi saat mengetahui perasaan mas selama ini"  Bejo mendudukkan istrinya di sofa dan kembali terdiam masih belum bisa terima begitu saja atas pengakuan istrinya hidup bahagia bersamanya.

Keesokan harinya, Bejo mengantarkan istrinya ke pasar yang tak jauh dari rumahnya, 10 menit naik sepeda motor sudah sampai di pasar Semin, pasar tradisional penuh kenangan, terutama mie ayam Mak cik yang ayamnya khas,selain ayam semur kecil-kecil, selalu dikasih potongan ayam ukuran tanggung sebesar jempol tangan orang dewasa yang empuk dan lezat, yg tak akan pernah di jumpai di pedagang mie ayam lainnya.

Saat sedang menunggu istrinya belanja itulah moment tak terlupakan dan menjadi titik balik penyadaran Bejo atas kegalauan dia selama ini menemukan jawabannya, menemukan obatnya. Bejo benar-benar tersadar atas kekhilafan pemikirannya selama ini, kekurang syukurannya atas nikmat berlimpah yang telah Allah berikan kepadanya. 

Selain sudah punya rumah sendiri yang permanen dan berlantai 2 (2 tingkat) meski masih berbentuk bata merah tanpa plesteran, Bejo juga punya 3 ekor sapi, 2 betina dan 1 jantan, 4 ekor kambing dan sekitar 20 ekor ayam jantan dan betina yang ia pelihara di pekarangan belakang rumahnya. Tentu juga sawah yang selama ini ia garap dan banyak membantu kebutuhan keluarganya, terutama saat panen setahun 2 kali.

Dalam perjalanan pulang dari pasar, saat berboncengan di atas sepeda motor dengan istrinya, Bejo lebih banyak terdiam dan tak berkata apa-apa, padahal biasanya moment seperti ini sering dipakai Bejo untuk bercerita joke-joke lucu untuk menghibur istrinya.

Maya sedikit heran kenapa suaminya bersikap tak seperti biasanya, mas Bejo terdiam dan sesekali menyeka matanya, "apakah mas Bejo menangis ?" Tanyanya dalam hati, "Tapi kenapa ?" Maya makin penasaran atas sikap suaminya itu.

Sesampai di rumah, Bejo langsung mengangkat semua belanjaan ke dalam rumah dan masih terus terdiam, terlihat matanya sedikit memerah seperti habis menangis. Maya pun tak berani bertanya apa-apa, dia hanya menerka-nerka "apa mas Bejo marah sama saya ya, tapi salah saya apa, perasaan tadi berangkat baik-baik aja" Maya terus berbicara dengan dirinya sendiri.

Terlihat Bejo begitu semangatnya ambil air wudhu, tak biasanya, sepulang dari pasar Bejo biasa langsung nyuruh istrinya bikin sambel bawang, karena sudah jadi kebiasaan Bejo dan istrinya kalau ke pasar pasti beli tempe baung/besengek/alakathak (tempe yang terbuat dari buah benguk, ......tanaman yang sepertinya hanya di kenal di Jawa, entah di luar Jawa ada atau tidak), tempe yang agak lembek berwarna hitam, juga beli tahu, krupuk dan jarak gaplek.

Tempe besengek, tahu, krupuk, sambel bawang plus nasi dingin menjadi makanan favorit keluarga kecil ini, untuk sarapan pagi selepas dari pasar. Rasanya luar biasa.

Tapi pagi ini Bejo langsung ambil air Wudhu dan Sholat 2 rakaat dengan khusyuk sesekali terdengar Isyak tangis yang ia sembunyikan, selesai salam ia menengadahkan tangannya dan tangispun pecah, ia tak lagi mampu menyembunyikan perasaan hatinya, entah sedih atau menyesal, atau perasaan lain, hanya Bejo yang tau.

Sambil membuat sambel bawang, Maya hanya diam tak berkata apa-apa, ia benar-benar merasa heran dengan perubahan sikap suaminya pagi ini.

Selepas sholat 2 rakaat, Bejo langsung menuju meja makan dan bersiap menyantap sarapan Beswangkrutu (Besengek sambel Bawang Krupuk Tahu) plus nasi putih anget.

Sambil menyuguhkan sambel bawang hasil ulekan tangannya, Maya langsung bertanya ke suaminya atas kejadian pagi ini yang sedikit agak aneh tak seperti biasanya, "Kenapa mas, koq pulang-pulang langsung sholat, dzikir sambil nangis ?"  Kata Maya mencari jawaban atas rasa penasarannya.

"Tadi mas ketemu temen SMA pas nungguin Dik Maya belanja, sudah 10 tahun kami nggak ketemu, tiap reuni dia nggak pernah dateng. ya Allah .....kasian sekarang kondisinya, padahal dia dulu  juara umum dik" Bejo mulai bercerita perihal teman SMA nya itu.

"Emang gimana kondisinya sekarang mas ? Tinggal dimana dia ?" Tanya Maya penasaran.

"Tadi pas ketemu kelihatan banget kalau dia punya masalah yang berat banget,  pas mas tanya tinggal di mana sekarang,  dia bilang sekarang tinggal bersama orangtuanya di kampung, usahanya di Jakarta bangkrut, padahal dia sudah punya 8 karyawan, keuangan di pegang istrinya, ternyata di salah gunakan, istrinya sering beli-beli barang branded tanpa sepengetahuan dia, karena pake kartu kredit jadi asal beli-beli aja sampe 5 kartu kredit sekaligus, sampai tagihan membengkak lebih dari 500 juta"  Bejo sedikit menurunkan volume suaranya.

"Astaghfirullah ...." Maya geleng-geleng kepala, nggak percaya dengan apa yang ia dengar,

"Parahnya lagi istrinya selingkuh dik, kenal sama laki-laki duda di facebook” Bejo makin melirihkan suaranya.

"Naudzubillah mindzaliiiik" ....spontan Maya merespon dengan nada geram. "Sudah di kasih keluasan rejeki sama Allah, ternyata malah lupa diri ya mas". 

"Sekarang temen Mas itu pulang kampung, rumah, mobil dan harta yang ia punya habis dia jual untuk membayar hutang istrinya, dari pada dia di penjara. Masih untung dia belum punya anak, setelah lunas, dia putuskan untuk bercerai dengan istrinya yang selingkuh itu dan dia memilih pulang kampung menenangkan diri"  Bejo menutup cerita sedih temannya pagi ini.

"Bersyukurlah mas, atas keputusanmu hidup damai di desa, membangun desa, membangun akhlak remaja, mengajar Bapak-bapak mengenal Al-qur'an dan mengamalkannya" Maya merasa lega atas kesadaran diri suaminya.

Ternyata kondisi yang selama ini ia  sesali dan ratapi karena merasa tidak sukses, merasa gagal dalam kehidupan, masih jauh lebih baik di banding kondisi temannya yang juara umum itu. 

Bejo benar-benar merasa bersyukur atas nikmat yang telah Allah berikan selama ini, rumah yang besar, istri yang Sholehah, anak yang lucu, punya sawah, punya hewan ternak dan yang paling membahagiakan adalah dia sadar bahwa Allah sangat menyayanginya, Bejo tak pernah ketinggalan sholat berjamaah, mengaji bersama Bapak-bapak dan remaja, masih bisa ikut cari keringet dengan main bola dan melatih pencak silat.

Bejo tersadar atas kesalahan berpikirnya selama ini, Urip kui gue Wang sinawang (hidup itu hanya saling melihat satu sama lain), terkadang rumput tetangga terlihat lebih hijau dari rumput halaman rumah kita. Padahal hidup di dunia hanya sementara, hanya mampir Ngombe (Singgah minum). Dan kembali untuk melanjutkan perjalanan menuju Akherat yang abadi.

Di dunia adalah tempat mengumpulkan bekal amal sebanyak-banyaknya dan ridho Allah Subhanahu wata'ala, agar di akheray kelak mendapat surga-Nya.

Tamat














Sudah Siap Nak ?

   Dokumentasi Latansa DPW PKS Banten Beberapa waktu lalu di Group WA kader dishare pengumuman tentang akan dilaksanakannya Latansa (pelatih...