Ma'afkan Kami Saudaraku


CePersaudaraan

"Untuk taklim Jum'at malam sabtu ini di rumah Pak Burhan ya" begitu info yang disampaikan ketua Majelis Taklim di group WA.  Taklim pekanan yang biasa diadakan dari rumah ke rumah sebagai sarana silaturahim antar jama'ah. 

"Waduh,  ma'af pak ketua,  belum bisa di tempat saya" sahut pak Burhan. 

Dalam hati sedikit kesal dengan alasan yang selalu dibuat-buat oleh pak Burhan.  Pekan lalu nggak bisa,  bulan lalu juga nggak bisa,  selalu saja alasan ini itu, "Bilang aja nggak mau ketempatan" gumamku. 

"Ada apa sich Yah" tanya istriku yang ternyata mendengar gerutuku. 

"Ini pak Burhan, giliran jatah ketempatan taklim selalu saja beralasan nggak bisa" jawabku masih kesal. 

"Ayah nggak boleh gitu,  barangkali pak Burhan punya alasan tersendiri, hingga belum bersedia ketempatan taklim" sahut istriku mencoba kasih penjelasan. 

Keesokan harinya saat berangkat ke kantor, setengah tak percaya aku melihat pak Burhan sedang mendorong gerobak bubur ayam,  sambil menyeka keringatnya yang sudah mulai  membasahi wajahnya meski hari masih pagi, beliau begitu bersemangat mendorong gerobak menuju pangkalan tempatnya berjualan. 

Aku ragu untuk mendekat dan memastikan apakah benar itu pak Burhan atau bukan,  karena setahuku beliau kerja di Jakarta sebagai manager marketing di perusahaan terkenal. 

"Pak Burhan,  assalamu'alaikum" kucoba memberanikan diri untuk menyapa. 

"Wa'alaikum salam warahmatullahi wabarakaatuh,  ...hai Pak Andi,  gimana sehat ? " tak terlihat sedikitpun rasa canggung atau malu saat melihatku sudah berdiri di depannya. Ia menyodorkan tangannya dan kami berjabat tangan cukup erat seolah ketemu teman yang lama tak bersua. 

"Alhamdulillah  sehat pak,  pak Burhan gimana ? " tanyaku balik masih penuh tanda tanya. 

"Alhamdulillah  sehat Pak Andi,  ya beginilah hari-hari saya sekarang, mencoba banting setir berjualan bubur ayam tiap pagi" jawabnya sedikit menjelaskan. 

"Gimana ceritanya koq bisa sampai seperti sekarang ini pak Burhan,  bukannya pak Burhan kemarin manager marketing di Jakarta ?" tanyaku penasaran. 

"Ya beginilah perjalanan hidup pak Andi, saya difitnah sama teman sekerja, saya dituduh korupsi, padahal yang korupsi bukan saya,  tapi anak buah saya,  rupanya mereka bekerjasama untuk menyingkirkan saya dari perusahaan, saya sudah berusaha membela diri dengan segala macam argumen dan data-data,  tapi karena mereka bersekongkol,  akhirnya saya mengalah saja" jelasnya panjang lebar. 

"Ya Allah,  yang sabar ya pak Burhan,  ini ujian, semoga pak Burhan bisa melewati ujian ini ya.  Insya Allah pasti Allah kasih jalan keluar" hiburku. 

"Oya pak Andi cobain bubur ayam bikinan saya ya,  sekalian kasih testimony,  enak nggak nich bikinan mantan orang marketing.... Hahaha" tawa pak Burhan mencoba menutupi kegalauan hatinya. 

"Boleh-boleh pak,  dibungkus aja ya 2, soalnya saya buru-buru mau ke kantor pak" jawabku sambil kuselipkan uang  2 lembar seratus ribuan ke saku bajunya. 

"Apa-apaan ini pak Andi,  jangan pak,  saya mau kasih gratis ke pak Andi untuk nyicipin" sembari mengembalikan uang yang saya selipkan di sakunya. 

"Nggak pak Burhan,  ini rejeki dari Allah buat Bapak,  kebetulan kemarin saya dapat bonus dari perusahaan,  nggak ada salahnya saya beli bubur ayam bapak dengan harga segitu" jawabku sambil menyelipkan dengan paksa uang tadi ke saku pak Burhan. 

"Masya Allah pak Andi, Terima kasih banyak ya pak,  semoga Allah selalu memberikan keberkahan untuk pak Andi sekeluarga" do'anya sambil menyiapkan bubur ayam pesananku. 

"Saya terpaksa banting setir begini mencoba cari keberkahan dalam menjemput rejeki pak,  kemarin di marketing lumayan lancar,  hanya saja ada hal-hal yang menurut saya jadi hal subhat yang harus dihindari,  para customer minta harga di mark up untuk keuntungan mereka sebagi purchasing,  saya menolak,  ternyata anak buah saya pada main begituan tanpa sepengetahuan saya" pak Burhan kembali meneruskan kisahnya. 

"Sudah hampir setahun saya jalani jualan ini pak Andi,  memang berat sich,  biasa dapat  gaji bulanan,  sekarang harus menggaji diri sendiri,  mungkin istri dan anak-anak saya yabg kaget dengan perubahan ini. Tapi mereka mulai menyesuaikan diri" lanjutnya. 

"Ma'af Pak Burhan,  terus rumah pak Burhan gimana,  masih di tempat lama kan? " kucoba memberanikan diri bertanya lebih dalam. 

"Nah,  itulah salah satu alasan kenapa saya belum siap ketempatan untuk taklim pak Andi" sambil menghela nafas pak Burhan mencoba menjelaskan perihal penolakannya selama ini. 

"Rumah itu saya jual setahun yang lalu untuk membayar hutang-hutang saya selama ini". Pungkas pak Burhan.


Fiksi
Mulyono,KLI
16 12 2025

Posting Komentar

0 Komentar