Al-Muflihun


Rumah Qur’an Impian Anak Dusun

Sore di Dusun Ngadipiro, Gunungkidul, selalu punya dua suara yang khas:
sorak anak-anak bermain bola di lapangan tanah merah,
dan lantunan suara Iqra dari serambi mushola kecil di ujung dusun.
Anehnya, dua suara itu sering berasal dari satu orang — Mulyono.


Anak Kampung yang Cinta Bola dan Qur’an

Sejak duduk di bangku SMEA, Mulyono dikenal sebagai pemuda aktif dan disiplin.
Ia punya dua kecintaan besar: sepak bola dan Al-Qur’an.

Bersama teman-teman kampungnya, ia mendirikan klub bola sederhana bernama
PSPN — Persatuan Sepak Bola Putra Ngadipiro,
diambil dari nama dusun tempat ia lahir dan tumbuh.

Dalam seminggu, ia menata waktunya dengan seimbang:
⚽ Dua kali latihan bola bersama PSPN di lapangan dusun.
📖 Tiga kali mengajar anak-anak kecil belajar ngaji di mushola selepas Ashar.

“Kalau badan perlu latihan biar kuat, hati juga harus dilatih biar lembut,” katanya ringan.


Begitulah Mulyono muda — berlari di lapangan sore hari, 2 kali sepekan. bersila di mushola sepekan 3 kali ngajar ngaji.
Ia hidup dalam keseimbangan antara semangat dunia dan cinta akhirat.


Merantau ke Tangerang

Selepas lulus SMEA, Mulyono merantau ke Tangerang untuk bekerja di pabrik.
Namun semangat mengajarnya tak pernah padam.
Setiap pekan, ia mengatur jadwal mengajar teman-teman kerja belajar membaca Al-Qur’an,
bukan di asrama, tapi berpindah-pindah dari kontrakan satu ke kontrakan lainnya.

“Biar tempatnya sederhana, yang penting niatnya lillah,” katanya setiap kali membuka mushaf.
Dari ruang kontrakan sempit, suara huruf-huruf hijaiyah bergema lembut,
menembus malam dan kelelahan para buruh pabrik yang ingin belajar dekat dengan Al-Qur’an.


Menjadi Guru Tahsin

Tak lama kemudian, Allah bukakan jalan baru.
Mulyono diterima mengajar di sebuah SDIT di Tangerang sebagai Guru Tahsin.
Selama hampir tiga tahun (2 tahun 8 bulan), ia menuntun lidah-lidah kecil melafalkan ayat-ayat Allah dengan benar.

Setiap kali seorang murid berhasil membaca dengan lancar,
Mulyono tersenyum haru — seolah melihat tunas-tunas baru tumbuh dari tanah iman.

Namun jauh di lubuk hatinya, masih ada cita-cita yang belum padam:

“Aku ingin punya tempat sendiri untuk mengajar...
namanya Rumah Qur’an Al-Muflihun.


Sepuluh Tahun Berdagang Bakso

Setelah keluar dari sekolah, Mulyono memulai usaha kecil: berdagang bakso dan mie ayam.
Gerobaknya sederhana, tapi penuh doa dan cita-cita.
Setiap pagi, sambil menyiapkan dagangan, ia berdoa,

“Ya Allah, semoga dari rezeki ini Engkau izinkan aku bangun tempat ngaji untuk anak-anak.”

Selama sepuluh tahun, ia menjalani hidup sebagai pedagang.
Ia sempat menyewa kios, tapi usaha itu tak berkembang.
Namun Mulyono tak mengeluh — sebab di sela-sela jualan,
ia masih bisa mengajar anak-anak di mushola kampung setiap malam.

“Dagangan boleh sepi,” ujarnya lirih, “asal ayat Allah tetap ramai di hati.”


Pintu Rezeki dari Langit

Suatu hari, Allah kirimkan jalan baru melalui seorang teman lamanya —
seorang pengusaha yang kini memiliki perusahaan distributor kabel,
salah satu brand 5 besar di Indonesia.

“Yon,” kata temannya, “aku tahu kamu jujur dan amanah. Gabunglah di perusahaan.
Mulai aja dari sales, nanti Allah yang menuntun.”

Mulyono istikharah dan hatinya terasa lapang.
Ia pun menutup gerobak baksonya, melangkah ke dunia baru.

Ternyata, Allah menyiapkan kejutan yang indah.
Sang pemilik perusahaan itu membangun sebuah masjid megah di dekat gudang besar perusahaan.
Melihat semangat Mulyono yang tak pernah lepas dari Al-Qur’an,
pimpinan perusahaan menunjuknya sebagai Ketua DKM Masjid.


Rumah Qur’an yang Jadi Nyata

Dari masjid itulah, cita-cita lama Mulyono akhirnya hidup kembali.
Bersama teman-teman kerjanya, ia mendirikan Rumah Qur’an Al-Muflihun
nama yang sudah ia tulis bertahun-tahun lalu di buku catatannya.

Siang hari, karyawan belajar membaca Al-Qur’an di sela waktu kerja.
Sore hari, anak-anak warga sekitar datang membawa Iqra.
Malamnya, para sopir truk ikut tadarus sebelum berangkat distribusi.

Masjid itu tak pernah sepi.

Shalat lima waktu selalu berjamaah dengan imam yang ditunjuk DKM di bawah bimbingan Mulyono.

Dan saat Sabtu-Ahad, ketika kantor libur,

masjid perusahaan itu berubah seperti pesantren kecil:

ada kelas tahsin, tajwid, hafalan, dan kajian tafsir.


“Masjid ini memang masjid perusahaan,” kata Mulyono dengan mata berkaca,

“tapi suasananya seperti pesantren — hidup dengan ilmu, hangat dengan zikir.”



---


Alhamdulillah, Ya Allah


Kini, setiap kali iqamah dikumandangkan, Mulyono menatap jamaah yang berbaris rapi.

Hatinya bergetar.


> “Alhamdulillah, Ya Allah...

Engkau wujudkan impian hamba. Rumah Qur’an itu kini hidup,

walau bukan di mushola kecilku, tapi di rumah-Mu yang jauh lebih besar dan lebih berkah.”

Malam hari, setelah jamaah pulang, Mulyono duduk sendiri di saf depan.

Mushaf terbuka di pangkuannya.

Angin malam berembus lembut, dan bibirnya bergerak pelan,

membaca ayat-ayat yang dulu ia ajarkan dari mushola kampung,

dari kontrakan sederhana, dari lapangan bola, dan dari gerobak baksonya.

 “Ya Allah,” doanya lirih,

“Jika Engkau panjangkan umurku, izinkan aku terus mengajar Al-Qur’an sampai akhir hidupku, dan jika boleh aku memilih, panggil aku dalam keadaan sedang mengajar di rumah-Mu, dengan ayat-Mu di bibirku.”

Lampu masjid berpendar lembut, seolah ikut mengamini.

Di langit, bintang-bintang seakan tersenyum menyaksikan seorang guru ngaji sederhana, yang tak pernah berhenti mencintai Al-Qur’an —

Dari Ngadipiro, Gunungkidul, sampai ke Tangerang, dari lapangan bola tanah merah, sampai ke masjid megah di bawah langit perusahaan besar.

Dan di setiap helaan napasnya, hanya satu kalimat yang tak pernah absen: “Alhamdulillah, Ya Allah…”


22 Oktober 2025



Posting Komentar

0 Komentar